Senin, 13 Mei 2013

Karna Semua Ada Sebab-Akibat

Bukankah pada dasarnya manusia adalah sebab-akibat bagi manusia yang lain?
Setidaknya itu yang saya dapat dari buku "Rembulan Tenggelam di Wajahmu". Sepertinya memang begitu, dan sepertinya saya harus mulai mencermati kalimat itu dalam-dalam. Kemana sebenarnya Tuhan membawa kehidupan saya selama ini. Mulai dari berbagai macam perpindahan yang sudah terlewati, sampai saya benar-benar ada dititik ini. Juga tentang kehilangan yang begitu membuat sesak. Tuhan tahu kemana saja akan berjalan.

Garis itu dimulai di titik ini, sejak saya pindah ke Blitar dan ternyata harus putus sekolah dari sana, lalu mengulang kembali sekolah di Kediri.
Dari sini saya menarik kesimpulan, kenapa saya harus mengulang kelas waktu itu? Jawabannya, karna Tuhan ingin mempertemukan saya dengan sahabat yang begitu istimewa dalam kehidupan saya. Mereka adalah Dwi Dian Pranita dan Nur Ainun Nikmah.
Semuanya terus berjalan beriringan, sampai saya harus menghubungkan titik yang satu dengan yang lainnya sehingga menemukan garis yang berkesinambungan.

Titik kedua setelah sekian lama saya melalui hari-hari saya bersama mereka, saya memutuskan untuk mondok di Madura. Kenapa saya harus kesana? Pertanyaan itu turut berderet mengikuti pertanyaan sebelumnya. Mungkin ini jawabannya, karna Tuhan ingin saya mengenal orang lebih banyak. Mencari jati diri saya, mencoba sesuatu yang baru. Dan mengenal mereka yang ternyata sangat berarti bagi saya.

Dan ketika saya memutuskan untuk pindah dari Pondok itu, kenapa waktu itu saya nekad untuk pergi padahal saya masih punya banyak tanggungjawab yang belum usai masa baktinya? Ahh.. lagi-lagi saya menemukan titik itu lagi, Tuhan ingin teman-teman saya yang lain menunjukkan potensinya. Yang kemarin sempat sedikit saya tutupi karna lebih sering saya yang turut andil dalam urusan shof, (Jujur, ini tidak ada sedikitpun niat menyombongkan diri atau apapun itu). Dan setelah saya pergi, terbukti. Mereka yang semula enggan muncul, membuktikan bahwa mereka bisa lebih dari saya. Bukankah saya membuka jalan mereka?

Titik-titik lainnya pun saya temukan secara berentetan. Mulai dari saya pindah ke sekolah MAHAS Pare, saya menemukan sesuatu disana. Mereka butuh saya. Saya tahu persis itu, karna selama satu setengah tahun saya disana, saya sering turut nimbrung beberapa kegiatan. Memimpin Lomba Baris-Berbaris, menjadi andalan sebagai juru ketik karna tak lama setelah saya disana. Orang yang mereka andalkan dalam hal itu berhenti sekolah. Entah bagaimana kabarnya sekarang. Mencoba menetralkan diri atas berbagai sifat mereka masing-masing. Menemani yang butuh teman, mengabaikan yang suka membicarakan. Saya punya alur sendiri untuk menjalani kehidupan disana.

Masih ingat titik dimana saya memutuskan pindah dari Pondok?
Ternyata Tuhan punya rencana yang luar biasa dari sekedar orang-orang yang membutuhkan saya disekolah itu. Tuhan mengambil kakek saya, mungkin kalian bertanya apa hubungannya kakek saya meninggal dengan keputusan saya berhenti mondok jauh-jauh hari sebelumnya?
Meski sebenarnya bukan hanya saya yang memutuskan untuk berhenti dari Pondok, kakak saya pun demikian. Mungkin berbagai omongan, hujatan, berbagai kata-kata pedas muncul begitu menghujani kami. Ahh... entahlah bila ditampung dengan ember sudah banyak sekali mungkin.

Saya ingin sedikit bercerita hubungannya ini semua:
Waktu itu setelah kakek saya wafat. Orang tua saya menyuruh kakak saya menemani nenek di Blitar paling tidak sampai 40 hari. Tidak ada yang bisa menemani nenek saya disana, selain kakak saya. 2 saudara ibu saya tinggal di Surabaya dan mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Orang tua saya tidak mungkin jika harus berdiam di Blitar sedang pekerjaan di Kediri sama sekali tidak bisa di tinggal. Bila saya yang harus disana juga tidak mungkin karna saya waktu itu masih harus menjalani UAMBN, Ujian Praktek, dan UN. Sesak hati saya menerima kenyataan diwaktu yang menurut saya tidak tepat sama sekali (meski buat saya tidak ada waktu yang tepat untuk melepas kepergian orang yang tersayang).

Berlalu,
Hari itu tepat hari ke 40 kepergian kakek saya. Tepat dihari Sabtu, semua keluarga berkumpul disana. Suasananya sudah tidak seperti 40 hari sebelum itu. Ketika kakek saya benar-benar pergi meninggalkan kami semua. Ahh... hanya do'a yang patut kami suguhkan sekarang.
Besoknya, saya dan keluarga langsung pulang. Seperti biasa, Ibu dan Bapak saya duduk di depan sedang saya duduk di belakang. Lagu-lagu era 80-an mengiringi perjalanan kami ke rumah. Di tengah jalan, seingat saya ketika kami melewati rel kereta api waktu itu. Tiba-tiba Bapak bilang kepada saya, "Yun, kamu mau tau caranya sukses dan masuk Surga?" sedikit tertawa entah maksudnya apa. Tentu saja saya bilang saya mau. "Ini serius lho Yun," kata Bapak saya tanpa tertawa kali ini. Saya pun mendekatkan diri saya ke mobil bagian depan. Ingin lebih jelas mendengar yang Bapak saya katakan. "Apa Pak?," kata saya memburu penasaran. "Ajarin mamak (sebutan untuk nenek saya) sholat."
Deg, jantung saya terasa berhenti. Air mata itu secara tiba-tiba merembes begitu saja, kacau pikiran saya.
"Kamu nanti kuliah disini, gak usah di Malang. Biar Mbakmu aja yang kesana. Kamu nemenin Mamak di Blitar, keluarga yang lain gak bisa kalo' harus stay di Blitar. Cuma kamu yang di harapkan."
Pikiran saya semakin tidak karuan, saya terus menangis sambil mendengarkan kata-kata Bapak. Saya tahu betul, bahwa ini tidak akan mudah. Melihat bahwa di Blitar, teman-teman TK saya dulu sudah punya kesibukan sendiri-sendiri. Saya tidak akan punya teman disana. Tempatnya jauh dari Kota. Membuka pekerjaan pun tidak mudah rasanya. Huuuffttt... (menghela napas panjang). "Apalagi ini Tuhan?" batin saya.

Yang saya pikirkan lagi adalah, saya kehilangan impian saya. Bertahun-tahun saya membayangkan kuliah di Kota Apel itu. Dan sekarang saya harus menerima kenyataan bahwa orang tua saya sendiri yang meruntuhkan angan-angan saya itu. Bukankah dunia terlalu kejam?

Ahh.. untung saya lekas sadar. Bukan seharusnya saya mempersalahkan siapa, apa, atau kenapa. Tidak. Saya sudah kehilangan kakek saya, beliau dan nenek saya beserta anak-anaknya (termasuk Ibu saya) adalah seorang mu'allaf. Bedanya, kakek dan nenek saya belum pernah sholat. Dan sampai kakek saya meninggal, beliau belum sempat sujud kepada Sang Pencipta barang sekali saja. Saya tidak mau, saya dan keluarga saya merasa bersalah seumur hidup bila membiarkan nenek saya yang diberi hidayah oleh Allah untuk belajar melaksanakan sholat, kemudian tidak ada yang menuntun. Itu adalah kesalahan besar, sungguh.!! sudah pasti Allah akan mengancam siksaan untuk kami nantinya.

Berhari-hari saya setress karna masalah ini. Saya menangis tiap sholat, mencoba mengadu kepada Allah. Mencari jawaban yang sebenar-benarnya. Mencoba memantapkan hati, mengikhlaskan, dan mengorbankan semua impian saya. Itu sungguh berat sekali. Perang batin selama berhari-hari, sampai saya siap mengatakan persetujuan untuk stay di Blitar, menemani nenek saya disana, mengajari beliau sholat, dan mengajarkan sedikit banyak yang saya tahu tentang agama Allah.
Beberapa garis saya sambung kembali, sebab-akibat yang tadi sempat saya potong atas cerita itu. Mengapa saya harus mondok waktu itu? Dan saya temukan jawaban lainnya, saya harus mengamalkan apa yang saya pelajari disana meski tidak sampai lulus. Setidaknya ini untuk orang terdekat saya, yaa.. nenek saya sendiri. Bisa dibayangkan, kalau saja saat itu saya tidak memutuskan untuk berhenti mondok, siapa yang akan menemani nenek saya sekarang? Karna jika tahun ini saya masih disana. Saya benar-benar sibuk, saya menjabat sebagai pengurus dan kesempatan pulang pun tak banyak. Dan bila kakak saya waktu itu tidak berhenti pula, siapa yang akan menemani nenek saya sebelum saya disana?
Tuhan benar-benar telah mengatur semuanya. Manusia hanya perlu memahami kejadian-kejadian sebelumnya. Merangkainya menjadi sebab-akibat hidupnya, mengapa jalan kita harus seperti ini. Dan saya menemukan jawaban itu dengan sendirinya.

Sekarang, saya sudah benar-benar ikhlas jika harus memutuskan impian saya ke Malang. Toh, kapan-kapan saya bisa kesana sekedar menyambangi kakak saya atau teman-teman saya yang kebanyakan memang berniat kesana. Bukankah sama saja kuliah dimana-mana? Hanya nama besar yang membedakan. Jujur saja, saya disini benar-benar sedang menekan ego saya yang menguasai. Mencoba berbesar hati, mendewasakan diri.
Tuhan mengiming-imingi Surga-Nya..!!
Indah sekali...  #senyum sumringah :) ^_*

2 komentar:

  1. ah, baru tahu kalo kamu keluarga muallaf

    BalasHapus
    Balasan
    1. yaa bru kali ini di tulis depan public.
      keluarga yg sngat bertolak-belkang di aku kak..
      muallaf vs pndok salafi

      Hapus