Selasa, 19 November 2013

Abal-abal



Hey hujan,
Tega sekali kali ini kamu mengurungku dalam situasi yang tidak menguntungkan sama sekali. Puasa sendiri, terjebak hujan di kost sedangkan aku ingin membeli beberapa makanan diluar. Ahh,.. udara mendesir terasa dingin menyentuh daun telingaku. Rasanya ingin makan enak kali ini, sayang keadaan tidak berpihak padaku. Mataku melirik mesra 3 bungkus mie sedap goreng dalam lemari yang memang ku sediakan kalau-kalau ada kejadian (seperti ini). Dua bungkus kopi instan siap seduh juga turut minta ku jamah, ternyata sudah sebulan lebih aku tidak minum kopi. Fiuhhh... Ku hela napas panjang menatap diriku sendiri mengenaskan. Hidup macam ini?

Hujan, apa kamu punya cara membuatku tersenyum kali ini? Menghiburku karna kelakuanmu yang sedikit menyebalkan sore ini. Aku tidak punya teman rasanya, miris sekali. Aku kah manusia paling kurang bersyukur di dunia? Entahlah... mungkin saja..
Aku bingung, mungkin baginya aku seperti memberi tamparan keras dihadapan umum. Aku benar-benar menganggapnya seperti angin yang berlalu begitu saja, atau seperti deretan sepedah motor yang terjejer rapi di parkiran. Astagaaa..!! Tega sekali aku ini. Makhluk macam apa aku ini? Aku membuatnya berharap dan sekarang aku tak menganggapnya sama sekali. Tapi buatku, kata teman tidak semestinya berlebihan seperti itu. Haruskah aku sering-sering dekat dengan dia? Bukankah itu hanya seperti memberi karcis Cuma-Cuma untuk masuk ke dalam hidupku lagi? Aku tidak mengusirnya, tidak. Hanya aku tidak mau dia terlalu berharap. Aku tahu aku memustuskan untuk berteman lagi dengan dia, tapi tidak harus dengan pulang pergi bersama. Tidak. Aku tahu itu tidak akan efektif untuk misi melupakan. Sungguh cara yang sangat bodoh.


Sekarang semuanya semakin rumit, aku harus berpura-pura sok perhatian, sok peduli dengan urusannya hanya untuk menyenangkan hatinya. Iya kah dia senang dengan hal itu? Mungkin tidak sebenarnya. Entahlah, aku hanya mencoba. Tidak lebih, tidak kurang, atau kurang lebih seperti itu. Aku kalap. Tidak nalar sekali apa yang sudah ku lakukan akhir-akhir ini. Kacau, nilai UTS ku entah bagaimana nasibnya. Kalau malam aku tidak konsen belajar, pikiranku kemana-mana. Bukankah tujuanku kesini untuk amanat orang tuaku? Bukankah aku harusnya bersama mamak ku? Bukankah seharusnya aku tidak peduli dengan perasaan-perasaan yang tiba-tiba hadir, toh siapa orang baru ini? Aku tidak kenal sama sekali sebelumnya, bukankah aku sedang menunggu seseorang? Apakah dengan ini kau menghianatinya? Ahh, maksudku menghianati “Harga Mati”ku sendiri? Bukankah mimpiku sudah sepenuhnya ku letakkan disana? Iya disana, bersama dengan segala yang ia punya. Segalanya. Mimpi-mimpi yang ku rangkai bahkan sebelum aku mengenal dia. Dan aku menemukannya, dia. Indah sekali melihat sosoknya. Tenang, tidak neko-neko, simple sekali. Bisa menjadi pengganti Mario teguh sebagai motivator handal di Indonesia, tapi buatku. Cukup dia. Tentu saja. Aku tidak butuh yang lain, bahkan dengan diam saja. Dia mampu menyuruhku apapun. Melakukan tanpa dia minta. Bukankah ini ajaib?

Dan sekarang, na’as sekali sebenarnya kalau aku benar-benar harus menyadari. Dia tidak disini. Tidak. Sadarlah Yun? Hei, wanita yang masih suka melihat hujan terpias dikaca jendela. Wanita yang suka melamun disembarang tempat, di kelas, bahkan saat presentasi pun, saat dijalan melihat jalanan basah karna hujan baru saja mengguyur kota, atau sebentar saja rebahan dikasur kost yang sebenarnya cukup untuk tidur berdua tapi wanita ini menempatinya sendirian sudah bisa dipastikan wanita ini akan melayangkan pikirannya sampai ke Madura. Benar saja, apa lagi kalau sudah menatap laptop. Hujan dengan sukses membuat arus ide di otaknya semakin lancar. Mungkin sudah banjir sekarang. Kebanjiran rindu, kangen yang sudah terlalu. Sudah mencuat menggebu, mengalahkan kapal jetz tentara militer sepertinya. Kacau. Otaknya sudah tidak sinkron lagi. Maka sudahlah... jangan pedulikan ia menulis apa setelah ini. Dia sedang tidak waras, stress karna orang yang ditunggunya 2 bulan sudah tak pernah muncul. Kasihan sekali ia, diamkan saja. Biarkan dia sadar, bahwa ia menunggu ketidakpastian. Entah sampai kapan.
 
Entah sampai kapan aku menunggu ketidakpastian ini, entah sampai gigiku rontok satu-persatu. Entah sampai aku harus mengikutinya menjadi hafidz, eh.. hafidzah maksudku. Atau sampai aku benar-benar bisa melihat dia? Bolehkah sekali saja? Kalau tidak juga tak apa, aku ingin tetap menunggu. Dengan atau tanpa kepastian.
Entah bagaimana hatiku sekarang, kalau kamu ingin tahu. Ku pastikan hanya hujan yang tahu. Carilah aku disana, disetiap hujan turun. Biar dinginnya merembes ke pori-pori hati, biar berasa bekunya, biar berasa dinginnya. Biar kamu tahu, kamu “Harga Matiku”.

-di bilik kamar kost setelah hujan mendesah napas panjang-
Blitar, 13 November 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar